BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan di dunia, Diawali ketika bayi. Dahulu, 4-5 tahun seorang balita bisa asyik bermain, tetapi sekarang dengan adanya playgroup, membuat seorang balita hanya 3-4 tahun saja bermain. Setelah itu masuk kepada jenjang pendidikan mereka yang pertama, kemudian masuk sekolah dasar (SD/MI), lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama(SMP/MTs), lalu ke jenjang yang lebih tinggi (SMA,SMK,STM,MA), hingga akhirnya kuliah D3 atau S1. Kemudian jika seseorang tersebut pandai hingga mendapatkan beasiswa atau kemauannya keras, maka dia akan melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi S2 dan S3. Kemudian dia menikah, mempunyai anak, lalu anaknya akan diupayakan untuk mengikuti siklus pendidikan seperti dirinya. Hal ini berlangsung terus menerus secara kontinu.
Masalah yang timbul adalah, bagaimana jika kondisi keuanagn tidak memungkinkan untuk sekolah, lalu bagaimana jika peserta didik yang bersangkutan merasa berat dengan materi pengajaran yang diterimanya. Orang tua terkadang langsung memberi label ”bodoh” pada anaknya jika anaknya mendapatkan nilai yang kurang memuaskan. Orang tua juga terkadang tidak mengetahui bahwa pelajaran yang diterima anaknya sekarang lebih banyak daripada yang diterimanya dulu. Karena kurikulum akan terus berkembang. Misalnya saja, pelajaran Matematika Kesebangunan dan Phytagoras yang dulunya diajarkan waktu SMP,sekarang sudah mulai diajarkan di SD kelas 5 atau kelas 6. Akan tetapi, standar kelulusan berbanding lurus/sejalan dengan materi yang diperoleh. Semakin berganti tahun, semakin banyak saja materi yang diperoleh peserta didik, dan semakin besar pula standar kelulusan. Hal ini terasa semakin berat jika orang tua memaksakan kelulusan pada anaknya atau bahkan pada gurunya. Peserta didik akan merasa bagai kiamat, jika dia tidak mampu untuk lulus UN. Sehingga guru pengajar memberikan solusi praktis dengan cara menyontek saat UN. Guru memberikan contekan yang disebarkan sekelas, strategi menconteknya dipersiapkan secara matang sebelum UN. Memang akhirnya masalah kecil ini terselesaikan. Tetapi timbul masalah besar yaitu hati peserta didik menjadi tidak tenang, merasa berdosa karena sering nyontek. Peserta didik yang lainnya mungkin akan merasa tenang, lalu terbiasa melakukan tindak kecurangan, hingga timbul masalah kompleks yaitu banyaknya koruptor yang secara tidak jujur mencuri uang rakyat dan uang negara. Jika hal ini dibiarkan, maka akan semakin banyak orang yang berkeinginan keras untuk menjadi pandai dengan tujuan membodohi kaum lemah/rakyat jelata agar mereka bisa mendapat keuntungan sebanyak mungkin. Oleh karena itu, perlu adanya suatu perubahan mendasar dari Menteri Pendidikan Nasional agar masalah tersebut diatas dapat diatasi dari akarnya.
B. Rumusan Masalah
Dari pernyataan diatas, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai beikut :
1. Apa pengertian Menteri Pendidikan Nasional ?
2. Bagaimana wajah pendidikan Indonesia saat ini ?
3. Apa yang saya lakukan jika saya menjadi Menteri Pendidikan Nasional ?
C. Tujuan
Essay ini disusun dengan tujuan :
1. Untuk mengetahui kondisi pendidikan bangsa Indonesia saat ini.
2. Agar lebih memahami tentang kebijakan Menteri Pendidikan Nasional.
3. Untuk memenuhi tugas pengganti Ujian Akhir Semester mata kuliah Bahasa Indonesia.
BAB II
ISI
A. Pengertian Menteri Pendidikan Nasional
Kementerian Pendidikan Nasional (dahulu bernama "Departemen Pengajaran" (1945-1948), "Departemen Pendidikan dan Kebudayaan" (1948-1985), "Departemen Pendidikan, Pemuda dan Olahraga" (1985-1999) dan "Departemen Pendidikan Nasional" (1999-2009), disingkat Depdiknas) adalah kementerian dalam Pemerintah Indonesia yang membidangi urusan pendidikan. Kementerian Pendidikan Nasional dipimpin oleh seorang Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) yang sejak tanggal 22 Oktober 2009 dijabat oleh Mohammad Nuh. Mendiknas juga dibantu oleh Wakilnya. Wakil Menteri Pendidikan Nasional yang mendampingi Mohammad Nuh saat ini adalah Fasli Djalal.
Saat ini, Kementerian Pendidikan Nasional terdiri dari:
• Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah
• Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
• Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal (sebelumnya bernama Ditjen Pendidikan Luar Sekolah)
• Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan
• Sekretariat Jenderal
• Inspektorat Jenderal
• Badan Penelitian dan Pengembangan
B. Kondisi Pendidikan di Indonesia
Pada dasarnya, bersekolah atau menuntut ilmu adalah kewajiban semua manusia. Pendek kata, untuk satu kali makan saja, seseorang akan membutuhkan banyak ilmu. Ilmu Matematika untuk mengetahui berapa banyak uang yang akan dibayarkan saat membeli suatu makanan. Ilmu Bahasa untuk berkomunikasi dengan penjual tentang jenis makanan yang akan dibeli, dan ilmu-ilmu lainnya. Menuntut ilmu seharusnya adalah suatu kewajiban. Setiap orang harus tetap semangat dan pantang menyerah dalam menuntut ilmu.
Menuntut ilmu sekarang ini dibagi menjadi suatu jenjang. Mulai dari TK, SD Sederajat, SMP Sederajat, SMA Sederajat, hingga jenjang pendidikan tinggi di Politeknik, Akademi, Sekolah Tinggi atau yang paling populer yaitu di Perguruan Tinggi dengan jenjang D3, S1, S2, hingga S3. Apalagi dewasa ini, muncul Playgroup yang membuat balita kekurangan masa bermainnya. Jadi tidaklah mengherankan jika anda menemui beberapa orang yang memiliki gelar Mahasiswa, tetapi mereka masih senang bermain game playstation, bahkan kecanduan game PS1 layaknya anak kecil. Karena waktu bermain mereka saat kecil dulu justru dipenuhi dengan aktivitas pembelajaran. Masuklah mereka pertama kali ke TK atau Playgroup terlebih dahulu, lalu SD,SMP,SMA, kemudian mencoba kuliah di PTN atau sejenisnya. Setelah itu mereka menikah, lalu mempunyai anak, menjadi orang tua, kemudian anaknya diupayakan untuk mengikuti kembali siklus pendidikan yang dulunya mereka jalani. Hal ini terjadi secara terus menerus layaknya suatu sistem yang kontinu dan sulit diubah. Ada yang bersekolah dengan tujuan agar mendapat pekerjaan yang layak. Anehnya, meskipun seseorang tersebut kaya (seorang milyarder), tetapi anaknya justru disekolahkan setinggi-tingginya hanya untuk sekedar prestige belaka.
Pemerintah mencanangkan program ”Wajib Belajar 9 Tahun”, hanya sampai jenjang SMP. Padahal ijazah SMA saja sekarang ini tidak laku untuk mengajukan lamaran pekerjaan di perusahaan. Akan tetapi, kebijakan ini cukup baik, karena Mendiknas mampu mendanai banyak anak kurang mampu untuk bersekolah. Bahkan, lebih baik lagi, Mendiknas memberi beasiswa BOPDA bagi peserta didik SMA Sederajat yang kurang mampu tetapi pandai. Sangat baik lagi, karena Mendiknas melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) juga memberikan bantuan bagi Mahasiswa kurang mampu yang berhasil masuk ke Perguruan Tinggi Negeri dengan beasiswa BIDIK MISI dan semacamnya. Sehingga pendidikan dapat dirasakan oleh siapa saja, bahkan pendidikan tinggi pun juga dapat dirasakan oleh rakyat kecil.
Dengan banyaknya beasiswa dan berbagai fasilitas yang diberikan, pastilah Mendiknas mengharapkan output yang baik pula. Kurikulum pendidikan ditambah. Hingga semakin banyak saja yang diajarkan. Misalnya saja, pelajaran Matematika Kesebangunan dan Phytagoras yang dulunya diajarkan waktu SMP,sekarang sudah mulai diajarkan di SD kelas 5 atau kelas 6. Apalagi semakin bertambahnya tahun ajaran, akan bertambah pula silabus materi yang diajarkan, juga akan semakin besar pula standar kelulusan. Mendiknas benar-benar menguji peserta didik dengan menambahkan beberapa materi dalam kurikulum terbaru setiap tahunnya. Dengan patokan nilai standar kelulusan yang semakin bertambah, menyebabkan beban peserta didik semakin berat saja.
Hal yang semakin memberatkan beban peserta didik adalah target dari orang tua agar anaknya dapat minimal lulus UN, dan maksimal dengan nilai terbaik setinggi-tingginya. Para orang tua kadang tidak peduli terhadap kemampuan anaknya. Entah anaknya mampu, entah tidak mampu dalam pelajaran, tetapi orang tua tetap memaksakan nilai tinggi pada anaknya, terkadang hal ini justru dilakukan hanya demi sekedar prestige belaka. Beberapa orang tua sekarang ini lebih memikirkan apa nanti kata tetangga sekitar daripada memperhatikan anaknya sendiri.
Menghadapi hal sulit seperti ini, guru sebagai fasilitator pembelajaran, justru memberikan solusi praktis yaitu dengan berbagai macam cara menyontek. Ada yang membentuk tim guru yang bekerjasama dengan mendapat soal UN terlebih dahulu sebelum ujian dimulai, lalu dikerjakan bersama-sama dengan membagi soal mata pelajaran tertentu pada guru tertentu, lalu diberikan kepada salah satu siswa yang sebelumnya telah diberi tanggung jawab untuk menyebarkan ke semua siswa peserta UN. Ada yang membuat kesepakatan bersama dengan mengambil uang kas semua semua siswa peserta UN untuk membeli jawaban dari suatu sumber-sumber tertentu yang dapat dipercaya. Hal ini dilakukan agar semua siswa lulus, tidak ada orang tua yang komplain, dan agar sekolahnya bisa lebih terkenal karena dapat meluluskan banyak siswa dengan beberapa siswa yang nilainya sangat tinggi. Cara yang lebih parah lagi, siswa yang paling pintar disuruh menyebarkan jawabannya. Jika dia tidak mau, maka dia diancam tidak akan dibantu oleh guru dan teman-temannya. Mungkin hal inilah yang menyebabkan kecurangan-kecurangan UN seperti ini akan terus terjadi. Bahkan saya pernah menemui anak yang masih kelas 5 SD, tetapi dia sangat sibuk belajar, pagi hari dia sekolah, siang hari pulang sekolah ada bimbingan belajar wajib di sekolahnya, ba’da maghrib dia les, tetapi sepulang dari les, orang tuanya mengantarkan dia untuk les lagi di LBB lain. Hal ini membuat anak tersebut kekurangan masa bermainnya. Meskipun anak tersebut nilainya bisa tinggi, namun curang rasanya bila anak lain yang tidak sesibuk dirinya juga bisa mendapat nilai sama, atau bahkan lebih tinggi daripada anak tersebut. Apalagi sekarang ini orang tua akan menilai anaknya bodoh atau pandai hanya dari nilai semata. Padahal kita tahu bahwa kecerdasan itu ada bermacam-macam, tidak hanya kecerdasan intelektual saja. Suatu sumber terpercaya telah menyebutkan tentang adanya 8 macam kecerdasan pada manusia.
Melihat kenyataan ini, sejak kecilpun anak sudah diajari untuk curang. Bahkan kabar baru-baru ini, seorang wali murid yang melaporkan bahwa anaknya disuruh untuk menyebarkan jawaban UN di SDN Gadel, justru wali murid tersebut dilaporkan balik telah menyebarkan nama baik sekolah, dan tetangga sekitar malah mengucilkan dirinya, sehingga dia pulang ke desa. Menyikapi hal ini, Mendiknas justru menyatakan tidak ada kecurangan UN dengan alasan bahwa tidak ada jawaban yang sama 100%. Seakan menutupi kejujuran, Mendiknas berkata bahwa nilai dan letak kesalahan bervariasi, sehingga tidak ada contek massal. Padahal kita tahu bahwa anak kecil yang polos, pasti mengatakan sesuatu hal itu sebenar-benarnya. Apalagi setiap anak pasti berbeda pemikiran, ada yang pandai sehingga mengubah jawaban dari gurunya, ada yang bingung sehingga menyamakan isi contekan sepenunya, dan sebagainya. Guru pun juga tidak akan sebodoh itu untuk memberikan jawaban sepenuhnya, entah dari 50 soal terdapat 7-10 soal tidak dijawab, entah dari 40 soal terdapat 5-7 soal tidak dijawab, sehingga jawaban siswa pasti berbeda-beda. Jika kejujuran kecil seperti ini saja tidak bisa dipertahankan di negeri ini, malah dianggap sebagai suatu kesalahan, apalagi kejujuran besar yang menyangkut nama negara. Mungkin hal semacam ini juga berlaku di kalangan pejabat negara. Mungkin korupsi yang terus marak di Indonesia ini terjadi akibat adanya ”pembiaran”, sehingga tidak akan ada koruptor yang jera, yang akhirnya menyebabkan siklus korupsi di Indonesia berjalan dengan mulus.
C. Jika Aku Menjadi Menteri Pendidikan Nasional
Menyikapi hal seperti ini, tentunya ada sesuatu yang harus diubah dalam sistem pendidikan di Indonesia. Terdapat suatu kebijakan yang mungkin kurang tepat sehingga banyak terjadi kecurangan-kecurangan UN di Indonesia. Mendiknas dalam hal ini memang cukup baik, tetapi terdapat suatu hal yang menyebabkan terjadinya suatu kesalahan berupa kecurangan yang terjadi terus menerus.
Jika saya menjadi Mendiknas, saya akan melakukan hal yang sama dengan apa-apa yang dilakukan mendiknas saat ini. Dengan memberikan banyaknya beasiswa bagi rakyat kecil untuk menuntut pendidikan, sehingga pendidikan dapat dirasakan oleh semua kalangan.
Jika saya menjadi Mendiknas, akan ada satu hal yang saya ubah. Saya akan membuat kebijakan dengan meluluskan seluruh peserta UN dengan nilai berarapapun juga, walaupun satu koma atau nol koma sekian sekalipun. Dengan dipastikan lulusnya peserta UN, menyebabkan UN tidak akan menjadi momok. Peserta didik akan belajar karena kesadaran dan kewajiban, bukan paksaan hanya untuk memenuhi standar kelulusan semata. Jika saya menjadi Mendiknas, kecurangan yang terjadi saat berlangsungnya ujian, akan saya selidiki dengan tuntas dan akan saya tindak tegas. Saya akan mengadakan penyuluhan bagi guru-guru agar tidak bertindak curang saat UN. Jika ada yang masih terbukti melakukan kecurangan, maka akan saya cabut status kepegawaiannya, atau paling maksimal, akan saya pecat dari profesinya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa :
Pendidikan adalah suatu kewajiban bukanlah suatu paksaan untuk memenuhi standar kelulusan dari Mendiknas.
Kinerja Mendiknas saat ini telah bagus dengan memberi banyak beasiswa sebagai rakyat kecil. Sehingga pendidikan dapat dinikmati oleh semua kalangan.
Semakin berganti tahun, semakin banyak materi yang diajarkan, semakin bertambah pula standar kelulusan yang ditetapkan oleh mendiknas, sehingga UN rasanya menjadi momok yang menakutkan.
Jika saya menjadi Mendiknas, seperti Mendiknas sebelumnya, saya juga akan memberikan beasiswa bagi rakyat kurang mampu yang mau untuk belajar dan melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi.
Jika saya menjadi Mendiknas, Saya akan membuat kebijakan yang akan meluluskan semua peserta UN walau dengan rata-rata nol koma sekalipun, yang penting disini adalah, saya membutuhkan kejujuran dari peserta didik dan pengajar. Saya juga akan mengadakan penyuluhan bagi guru pengajar untuk tidak mengadakan kecurangan saat UN dan mengajar kejujuran kepada murid-murid. Tetapi saya akan tetap memberikan batas nilai untuk masuk Sekolah sekolah negeri dan Perguruan Tinggi Negeri yang nilainya agak tinggi atau mengambil nilai yang tertinggi. Sehingga nilai standar untuk lolos tes ditentukan setelah tes.
Senin, 11 Juli 2011
Jumat, 01 Juli 2011
WAKIL RAKYATKU
Bergelimangan harta dan banjir popularitas, begitulah rupanya wajah DPR masa kini yang justru lebih identik dengan glamoritas daripada kesederhanaan dan kepedulian kepada masyarakat kecil. Sungguh ironis, di tengah segala macam krisis yang melanda masyarakat , anggota DPR seperti tidak malu bersembunyi dalam kekuasaan dan terus merengek pada pemerintah agar diberikan haknya.
Sungguh tak tahu malu! Seperti yang kita tahu hak ialah imbalan yang berlaku timbal balik apabila kewajiban sudah terpenuhi. Perlu kita ajukan satu pertanyaan ,”Apakah anggota DPR mau mendengar aspirasi rakyat dan mewujudkannya?”. Tentu kita sepakat bahwa aspirasi kita yang harusnya menjadi pertimbangan dalam menyusun kebijakan terabaikan begitu saja, tercecer bagaikan sampah tak berguna. Anggota DPR lebih menjunjung kepentingan ORMAS dan partai-partai yang mensponsori kebijakan mereka, tentu saja menyimpang dengan cita-cita dan harapan masyarakat. Patut disayangkan DPR yang seharusnya menjadi penopang rakyat dan penyambung lidah rakyat dengan pemerintah justru mengalami konflik terselubung dengan rakyatnya. Di saat rakyat gencar melakukan orasi dan melancarkan aspirasi-aspirasinya kepada DPR dengan penuh harapan dan pandangan ke depan mengenai adanya perubahan. DPR sebagai pihak yang diharapkan justru memadamkan secercah harapan rakyat. Mereka seperti ditulikan oleh kepentingan mereka pribadi. Mereka seperti tidak bertelinga untuk sekedar mendengarkan aspirasi rakyatnya dan menjadi penengah antara masyarakat dengan pemerintah. Tentunya hubungan yang terjalin antara masyarakat dengan anggota DPR bagaikan titian panjang yang tidak berujung. Hal ini merupakan penganiayaan terhadap falsafah demokrasi modern yang menganggap rakyat diatas segalanya dalam pengambilan keputusan dimana rakyat dianggap sebagai kelompok yang mempunyai hak tawar dalam menentukan masa depan perpolitikan indonesia dan mengubah kebijakan-kebijakan yang berlaku.
Pada zaman dahulu kita dapat melihat idealisme Bung Karno, warisan yang belum terselesaikan dan masih terus memangggil kita. Hal itu menjadi keyakinan mendasar penyempurnaan cita-cita indonesia yang terus berlanjut.
Hal-hal yang menunjukkan keyakinan jika DPR benar-benar didirikan atas prinsip-prinsip kebebasan dan kesetaraan, maka anggotanya tidak bisa duduk bermalas-malasan sementara jutaan orang tertindas oleh ketidak berdayaan dan pelecehan oleh kaum atas. Apabila kita ingin dipandang sebagai sumber harapan seluruh bangsa dan dunia , kita tidak boleh dikenal karena bencana alam yang mendera dan perdagangan anak-anak tak berdosa yang telah mendunia, kita harus bersinar dan cemerlang karena jangkauan cita-cita kita. Jika Konstitusi kita memang tidak ditentukan oleh kelahiran dan keadaan masyarakat, maka anggotanya juga harus memastikan bahwa anak seorang jutawan dan anak yang sekedar hidup dalam tunjangan mendapatkan hak yang sama dalam memperoleh pengajaran , kesempatan hidup, dan pelayanan, karena sebenarnya kita adalah sama. Oleh sebab itu DPR tidak boleh membatasi diri dengan mengejar upaya pengejaran tujuan yang egoisme karena kita adalah sama dan dilahirkan dalam tanah yang sama. Anggota DPR dan masyarakat harus bisa bersinergi dalam mengungkap sisi lain dari kehidupan berbangsa, serta mengajak masyarakat duduk di suatu forum untuk mendengar kebijaksanaan pemerintah, peduli akan keluhan dan kondisi bangsa ini dalam segala aspek. Betapa pedihnya itu, DPR saat ini harus mengungkapkan kebenaran walaupun terasa sakit dan pahit karena bagaimanapun itu kebenaran tetap lebih baik daripada kemunafikan.
Kemunafikan yang semakin membuat DPR makin menjauh dari rakyat, serta semakin melenceng dari paradigma dan opini publik dengan terapan kebijakan didalam pemerintahan. Hal itu semakin menunjukkan degradasi fungsi dari anggota DPR yang semakin menurunnya efektifitas kebijakan di mata publik. Sesuatu yang sungguh ironis jika diamati dari pandangan publik. Kita semua tahu bahwa DPR menjalankan peran signifikan dan simultan dalam penghubung antara rakyat dengan pemerintah, sebagai media pemvisualisasi potret kehidupan bermasyarakat apabila pemerintah tidak lagi peduli dengan pemberitaan. Kita tidak bisa membayangkan ditengah kondisi bangsa yang masih bergulat dengan krisis moral dan makin melimpahnya masyarakat yang berdiri dibawah garis kemiskinan, terjadi kerusakan pada fungsi DPR yang bertugas sebagai penyambung lidah antara masyarakat dan pemerintah. Tentunya ini membawa dampak sosial yang sangat luar biasa, DPR, yang seharusnya menjadi sosok “Bapak” bagi kehidupan anak-anaknya, justru tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan tidak dapat menginternalisasi teladan kepada anak-anaknya. Keadaan seperti ini, bukankah anak-anaknya akan berontak?, berontak menuntut haknya yang seharusnya mendapatkan pengayoman dan teladan yang baik dari bapaknya. Bukankah seharusnya masyarakat kita peduli dengan kondisi DPR seperti ini, dan keluar dari kondisi aman ini, dan menunjukkan kenyataan bahwa masih banyak masyarakat indonesia yang hidup kesusahan, di saat mereka merengek-rengek pada pemerintah menunjuk-nunjuk fasilitas yang mereka mau, dan ingin dipenuhi oleh pemerintah!”, sungguh hal yang menyedihkan dan menjadi sebuah ironi menyedihkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Suara lantang dan keras yang terdengar harmonis di telinga rakyat, di saat pemilihan anggota legislatif sudah tidak terdengar lagi, sepertinya sudah hilang bersama janji-janji manis yang mereka ucapkan di hadapan rakyat. Janji-janji membuat komitmen pada pendidikan, memberi perhatian pada rintihan rakyat yang mengeluh tentang mahalnya biaya pendidikan, dan mengeluh mencari sebuah sosok yang bisa membela hak-hak mereka. Sepertinya hanya sekedar retorika kampanye belaka, hal sebuah janji kosong yang terselubung komitmen untuk menjaring suara sebanyak-banyaknya. Kondisi DPR seperti ini semakin menambah masalah bangsa indonesia yang sudah bermasalah.
Tentunya kesadaran anggota DPR dan kebangkitan lembaga ini adalah hal yang telah lama dinanti oleh rakyat, yang menanti perubahan dan ingin menyaksikan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Kita semua tahu selama bertahun-tahun dan berabad-abad bangsa kita telah berjuang dan berusaha, bahkan untuk memperluas janji tentang pendidikan yang baik, sebuah janji yang telah membuat jutaan orang melampaui pemisah ras, latar belakang, dan kelas untuk melampaui potensi yang telah Tuhan berikan. Jikalah anggota DPR tersebut dikaruniai indra dan kemampuan untuk merasa, seharusnya mereka dapat mengindrai harapan rakyat ini, dan merasa bersalah jika mengkhianati amanah rakyat ini.
DPR memang bukan satu-satunya lembaga yang bisa dikritisi dalam permasalahan-permasalahan fundamental yang terjadi di bangsa kita sekarang ini, lembaga-lembaga negara kita, dari Kepolisian, Kejaksaan, KPK juga pantas menerima kritisi. Demikian juga pada lembaga penyelenggara negara kita, termasuk kinerja Kabinet Indonesia Bersatu. Kritik terhadap DPR, bisa dianggap sangat strategis, mengingat DPR adalah sebuah lembaga negara yang anggotanya dipilih rakyat, dengan tugas pengawasan terhadap lembaga negara lainnya. Kalau kredibilitasnya jatuh, pengawasan terhadap jalannya penyelenggaraan negara sudah tentu akan terganggu. Karena itu, selayaknya kita semua ikut menjaga kredibilitas DPR, agar lembaga pengawasan itu terjaga kredibilitasnya. Siapa yang wajib menjaga kredibilitas DPR? Sudah tentu para anggota DPR itu sendiri. Hal ini berarti, juga pada fraksi-fraksi dan pimpinan partai yang memegang kendali fraksi. Kalau DPR dikritik kurang peduli terhadap rakyat yang diwakilinya, selayaknya para anggota DPR yang terhormat bisa melakukan introspeksi diri, sejauh apa tuduhan itu benar, atau ada benarnya. Jujur dan bertanya pada diri sendiri, terhadap penilaian seperti itu, adalah awal untuk menjaga kehormatan DPR. Tuduhan itu, antara lain terkait dengan penerimaan anggota DPR, baik berupa gaji, uang kehormatan, ataupun tunjangan-tunjangan lainnya. Kalau hanya gaji/uang kehormatan, memang pantas jika dibandingkan dengan kinerja dan tanggung jawab moral “Wakil Rakyat” ini terhadap rakyat. Namun dengan menaikkan penerimaan dan gajinya. Mungkin kita harus berpikir berulang kali. Kenaikan dana yang mengatasnamakan rakyat dan demi nama pengabdian, tidak lebih dari upaya angggota DPR untuk mencari pendapatan lebih, misalnya dana aspirasi, rumah aspirasi, dan lain sebagainya. Yang semuanya diminta atas nama “aspirasi rakyat”, sebuah hal yang tidak masuk akal jika dibandingkan dengan kinerja DPR yang tak terdengar sama sekali kemajuannya. Ternyata semua penerimaan dan gaji tersebut masih dianggap belum cukup dan tidak berpengaruh pada penerimaan pensiun anggota DPR, sehingga masih saja tergoda untuk menerima uang yang ilegal. Tidak berlebihan kalau masalah ini perlu dianalisis lebih lanjut oleh pemerintah, demi mencapai penyelesaian mendasar, sehingga setiap anggota DPR dapat sadar akan perbuatannya, dan menjalankan amanah ini dengan tenang dan ikhlas, sebagai bagian dari reformasi birokrasi.
Belum selesai masalah di dalam negeri, sepertinya anggota DPR terlihat ingin bersembunyi dan bertamasya di negeri orang lain. Sebuah tamasya yang dilabeli oleh jargon-jargon politik yang mengatasnamakan rakyat. “Studi Banding” sebuah upaya untuk membandingkan struktur politik dan keorganisasian di dalam negeri dengan negara lain yang lebih maju. Menurut Kami sebenarnya upaya Studi Banding dapat dikurangi, seandainya DPR memiliki perpustakaan yang lengkap, sebagaimana negara lain menyelenggarakan berbagai programnya. Bandingkan dengan "Library of Conggress" Amerika, yang begitu lengkap kepustakaannya, sehingga tidak diperlukan "studi banding" bagi anggota Kongres AS untuk melaksanakan tugasnya. Demikian juga staf anggota DPR, termasuk staf ahlinya, para anggota DPR kita bisa iri hati melihat staf dan tenaga ahli anggota Kongres AS. Namun, menyamakan semuanya dengan AS juga tidak adil. Kita harus menyadari bahwa, belum saatnya kita mengacu ke sana, mengingat kondisi negara kita sekarang ini.
Terakhir, mengenai pembangunan gedung baru DPR, selayaknya dilihat dari kebutuhan anggota DPR, yang seusai dengan kebutuhan anggota DPR, yang selaras dengan kondisi bangsa dan negara yang masih memprihatinkan. Sebagai wakil rakyat, sudah tentu sangat diharapkan pemahamannya terhadap koridisi rakyat kita sekarang, notabene yang masih banyak memerlukan uluran tangan anggota DPR yang terhormat. Kemampuan menempatkan diri pada kondisi seperti itu, akan sangat membantu menegakkan kehormatan dan kredibilitas DPR. Kalau DPR kita memahami kondisi rakyatnya, insya-Allah akan memperoleh kehormatan layak. Kredibilitas DPR sebagai lembaga peningkat akan terekspos dan berujung pada meningkatnya kepercayaan rakyat pada anggota DPR. Selain itu hal-hal yang menjembatani hubungan antara anggota DPR dengan rakyatnya perlu dibenahi dengan serius dan dikupas dengan baik dalam hal ini.
Selama ini dalam hal pemberdayaan hak-hak rakyat selalu dipayungi oleh media pers dalam komunikasi antara para “Wakil Rakyat” dengan Rakyatnya, tentunya PERS yang dimaksud ialah , PERS yang menjunjung nama perjuangan dan demi menyampaikan informasi, bukan PERS yang malah “mengadu domba” antara Wakil dan Rakyatnya. “PERS perjuangan” dapat dikatakan hanya ada di zaman Bung Karno dan Pak Habibie. Di masa “pergolakan” tersebut pers sering kali menjadi bagian dari kelompok politik yang bertarung untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Pers belum menemukan bentuk dan posisi yang tepat sebagai pilar keempat dalam sistem demokrasi yang ideal. Ini dapat dimaklumi mengingat sistem politik Indonesia di masa itu pun masih belum menemukan bentuk yang juga ideal. Pengunduran diri Presiden Soeharto pada Mei 1998 yang menandakan berakhirnya era Orde Baru menurut kacamata penulis merupakan sebuah revolusi demokrasi yang baru pertama kali terjadi di muka bumi, bahkan belum ada bandingannya hingga kini. Peristiwa itu secara fundamental menginisiasi perubahan wajah demokrasi Indonesia dari “demokrasi terpimpin” ala Pak Harto ke arah demokrasi ideal yang memberikan kesempatan kepada rakyat dan semua kelompok civil society mengontrol kekuasaan yang dijalankan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Seyogyanya, kita dapat melakukan revolusi demokrasi di era 1960an menyusul berakhirnya kekuasaan Bung Karno andaikata Pak Harto tidak larut pada permainan Amerika Serikat dan blok Barat yang memanfaatkannya dalam perang melawan komunisme di era Perang Dingin, Bila Pak Harto tidak kebablasan dan berhenti di 1970an, atau menjadi presiden untuk setidaknya empat periode, dapat dibayangkan kini masyarakat Indonesia kemungkinan besar tengah menikmati demokrasi yang berkelanjutan berikut kesejahteraan berkeadilan yang merupakan buah dari demokrasi.
Namun demikian perlu juga diingatkan bahwa kemenangan dalam memperjuangkan demokrasi di tahun 1998 menghadapi ancaman serius ketika para pelaku atau pihak-pihak yang terlibat dalam perjuangan itu (atau biasa disebut kaum reformis) terjebak pada euphoria yang menjadikan pergolakan dan revolusi sebagai tujuan akhir. Padahal, semestinya pergolakan dan revolusi hanya dipandang sebagai salah satu cara dalam upaya merebut tujuan. Perlu disadari bahwa bila “revolusi” disusul dengan “revolusi”, yang tercipta adalah negara gagal. Kegagalan ini terjadi karena agenda untuk mewujudkan tujuan demokrasi jadi terbengkalai.
Di masa pasca revolusi demokrasi ini, dibutuhkan pers yang kuat, yakni pers yang komitmennya tidak hanya untuk tujuan revolusi, yaitu demokrasi, tapi juga untuk mewujudkan tujuan demokrasi, yakni kemakmuran.
Namun di saat yang bersamaan setiap insan pers juga dituntut untuk memiliki kesadaran yang kuat bahwa dirinya bertanggung jawab terhadap semua aktivitas jurnalistik yang dilakukannya. Insan pers bukanlah penganut paham jingoisme atau patriotisme (terhadap apapun) yang ekstrem dan melupakan kewajiban dan tanggung jawab sejarahnya. Insan pers mendapatkan UU yang lex specialis karena ia mewakili kepentingan masyarakat, bukan kepentingan dirinya sendiri maupun kelompok kecil lainnya. Pengabdian insan pers adalah pada cita-cita masyarakat banyak, yaitu kemakmuran. Untuk itu insan pers harus memberi warna positif, termasuk kritik yang bertujuan konstruktif bukan destruktif, dalam proses demokrasi Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Selama ini belum terlihat komunitas pers di Indonesia yang berpikir serius dan menggariskan arah perjuangan pers yang pasti. Belum ada agenda bersama. Itulah sebabnya kini kita menyaksikan banyak media dan insan pers menjadi penganut paham jingoisme. Mereka loyal secara ekstrem pada kepentingan kelompok tertentu, termasuk pemilik modal, dan mengabaikan tujuan yang lebih besar dan lebih mulia. Membangun dan terus membangun bangsa dengan kritik yang konstruktif dan dapat membangunkan hubungan rukun secara simultan antara rakyat dengan wakil rakyatnya, yaitu anggota DPR RI
Dan dengan hubungan yang terjaga simultan antara, wakil rakyat dan rakyatnya, dapat mewujudkan cita-cita sebenarnya dari falsafah demokrasi modern, yaitu mewujudkan aspirasi dan melibatkan rakyat sebagai penentu kebijakan, dan tentunya tidak melupakan media yang sejak zaman orde lama, sampai orde baru berfungsi sebagai sarana penggerak massa, dengan tujuan memperjuangkan hak dan cita-cita bangsa yang modern. Dan pers tidak lupa dengan apa yang diperjuangkannya sejak dulu, merujuk pada sejarah dan membawa dan meletakkan jiwa rakyat indonesia , agar tetap berapi-api mewujudkan apa yang dimaksud era demokrasi baru!!.. era. Dimana DPR tidak menjadi pihak yang otonom dan bersifat otoriter, tetapi lebih menggunakan kebijaksanaan dan asas persatuan dengan rakyat dalam rencana pembuatan kebijakan, demi tercapainya pemerintahan yang sinergis dan tanggap. Memang keberhasilan suatu negara dalam menjalin pemerintahannya tidak bergantung pada hubungan skala pendek antara, DPR dengan rakyat, tetapi juga hubungan yang solid dan terintegrasi dengan lembaga-lembaga penyelenggara negara lain. Percuma rasanya, jika keberhasilan dalam pembuatan undang-undang ,tidak dibarengi dengan pelaksanaan yang baik oleh pihak eksekutif. Sama halnya dengan belajar suatu teori tetapi tidak tahu bagaimana harus mempraktikkannya, sungguh disayangkan bukan, jika hal semacam itu terjadi.
Keadilan juga merupakan sesuatu yang bisa dianggap langka, kekuatan hukum yang memandang kesamarataan dan persamaan derajat antar manusia, sepertinya dinodai sendiri oleh oknum oknum ahli hukum dan badan yuridis Indonesia. Jika kita cermat.. dan melihat lebih jeli lagi, kita dapat melihat kasus-kasus yang sengaja dikaburkan demi mencapai tujuan kaum kepentingan tertentu. Coba lihat.. kasus Bank Century, intelektual-intelektual hukum yang biasanya lancar berbicara di persidangan orang bawahan, tampak seakan-akan kehilangan kepintarannya saat berorasi dalam persidangan kaum atas dan otokratis. Sepertinya semua anggota dari kasus bail out bank century, sengaja menutup-nutupi kasus tersebut. Mungkinkah mereka semua terlibat dengan kasus ini, sehingga untuk mengungkapkannya terasa sulit sekali?, apakah telah terjadi korupsi massal di pemerintahan?
Meskipun rasanya mungkin saja semua pertanyaan itu dijawab dengan anggukan, karena jika jika fakta satu, dengan lainnya dikaitkan dengan yang lain terjadi suatu keterkaitan. Kita lihat di jaman pak Harto saja, korupsi tidak hanya berfungsi sebagai alat penguras dompet negara , namun juga dapat berfungsi sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan. Hal ini terbukti di jaman orde baru, di saat pemerintahan pak Harto. Semua pegawai pemerintahan, menteri, dan pejabat –pejabaat lain dibiarkan melakukan korupsi sebanyak-banyaknya, sehingga korupsi menjadi suatu yang booming di jaman itu, dan secara tidak langsung memperkuat posisi pak harto di istana negara. Terbukti saat jaman-jaman menjelang kejatuhan pak Harto tidak ada yang pejabat-pejabat yang ikut menghujat pak Harto, karena mereka mempunyai hubungan mental yang kuat dengan kasus ini. Jika mereka membongkar, maka terbongkarlah semua. Hal inipun serupa dengan kasus bank century, dimana antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya terlihat saling menutupi, dan bungkam satu sama lain. Tanpa melihat keadaan rakyat ,yang semakin buruk keadaannya.
Nilai-nilai keadilan menjadi lebih sulit dicari, mungkinkah pepatah zaman dahulu yang mengatakan bahwa tuhan bisa mencari dan menciptakan semua kecuali keadilan. Pepatah itu memang relevan dengan kondisi bangsa kita, dimana mencari keadilan lebih sulit daripada mencari jarum di tumpukan jerami. Kasus bank century, kasus mafia pajak sejumlah kasus berat, dengan hukuman ringan bagi pelakunya. Tentunya ini bukanlah keadilan, tetapi sekedar “hukuman” bagi mereka. Bagaimana bisa disebut adil, jika untuk sedemikian besar kepentingan dan hak rakyat dizalimi dan untuk amanat-amanat rakyat yang sedemikian mudah dikhianati, mereka malah mendapat voucher menginap gratis di penjara dengan fasilitas-fasilitas mewahnya. Sesuatu yang terlalu ringan, jika dibandingkan dengan besarnya pengkhianatan. Tentunya ini bukanlah keadilan yang dicari dan di cita-citakan bangsa kita sejak jaman dahulu, keadilan yang menembus batas ras, dan kepentingan ,yang tidak membedakan hak dan status , dan tumbuh subur bersama kesejahteraan dan kemakmuran. Sebagai suatu pilar demokrasi masa kini, DPR harus menjadi garda terdepan dalam mengawal kebijakan pemerintah , baik yang menyangkut bidang yuridis maupun kepentingan pihak eksekutif. Sehingga tidak terjadi suatu kepentingan hukum, yang memihak salah satu golongan, kelompok maupun kepentingan tertentu.
Langganan:
Postingan (Atom)