BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan di dunia, Diawali ketika bayi. Dahulu, 4-5 tahun seorang balita bisa asyik bermain, tetapi sekarang dengan adanya playgroup, membuat seorang balita hanya 3-4 tahun saja bermain. Setelah itu masuk kepada jenjang pendidikan mereka yang pertama, kemudian masuk sekolah dasar (SD/MI), lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama(SMP/MTs), lalu ke jenjang yang lebih tinggi (SMA,SMK,STM,MA), hingga akhirnya kuliah D3 atau S1. Kemudian jika seseorang tersebut pandai hingga mendapatkan beasiswa atau kemauannya keras, maka dia akan melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi S2 dan S3. Kemudian dia menikah, mempunyai anak, lalu anaknya akan diupayakan untuk mengikuti siklus pendidikan seperti dirinya. Hal ini berlangsung terus menerus secara kontinu.
Masalah yang timbul adalah, bagaimana jika kondisi keuanagn tidak memungkinkan untuk sekolah, lalu bagaimana jika peserta didik yang bersangkutan merasa berat dengan materi pengajaran yang diterimanya. Orang tua terkadang langsung memberi label ”bodoh” pada anaknya jika anaknya mendapatkan nilai yang kurang memuaskan. Orang tua juga terkadang tidak mengetahui bahwa pelajaran yang diterima anaknya sekarang lebih banyak daripada yang diterimanya dulu. Karena kurikulum akan terus berkembang. Misalnya saja, pelajaran Matematika Kesebangunan dan Phytagoras yang dulunya diajarkan waktu SMP,sekarang sudah mulai diajarkan di SD kelas 5 atau kelas 6. Akan tetapi, standar kelulusan berbanding lurus/sejalan dengan materi yang diperoleh. Semakin berganti tahun, semakin banyak saja materi yang diperoleh peserta didik, dan semakin besar pula standar kelulusan. Hal ini terasa semakin berat jika orang tua memaksakan kelulusan pada anaknya atau bahkan pada gurunya. Peserta didik akan merasa bagai kiamat, jika dia tidak mampu untuk lulus UN. Sehingga guru pengajar memberikan solusi praktis dengan cara menyontek saat UN. Guru memberikan contekan yang disebarkan sekelas, strategi menconteknya dipersiapkan secara matang sebelum UN. Memang akhirnya masalah kecil ini terselesaikan. Tetapi timbul masalah besar yaitu hati peserta didik menjadi tidak tenang, merasa berdosa karena sering nyontek. Peserta didik yang lainnya mungkin akan merasa tenang, lalu terbiasa melakukan tindak kecurangan, hingga timbul masalah kompleks yaitu banyaknya koruptor yang secara tidak jujur mencuri uang rakyat dan uang negara. Jika hal ini dibiarkan, maka akan semakin banyak orang yang berkeinginan keras untuk menjadi pandai dengan tujuan membodohi kaum lemah/rakyat jelata agar mereka bisa mendapat keuntungan sebanyak mungkin. Oleh karena itu, perlu adanya suatu perubahan mendasar dari Menteri Pendidikan Nasional agar masalah tersebut diatas dapat diatasi dari akarnya.
B. Rumusan Masalah
Dari pernyataan diatas, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai beikut :
1. Apa pengertian Menteri Pendidikan Nasional ?
2. Bagaimana wajah pendidikan Indonesia saat ini ?
3. Apa yang saya lakukan jika saya menjadi Menteri Pendidikan Nasional ?
C. Tujuan
Essay ini disusun dengan tujuan :
1. Untuk mengetahui kondisi pendidikan bangsa Indonesia saat ini.
2. Agar lebih memahami tentang kebijakan Menteri Pendidikan Nasional.
3. Untuk memenuhi tugas pengganti Ujian Akhir Semester mata kuliah Bahasa Indonesia.
BAB II
ISI
A. Pengertian Menteri Pendidikan Nasional
Kementerian Pendidikan Nasional (dahulu bernama "Departemen Pengajaran" (1945-1948), "Departemen Pendidikan dan Kebudayaan" (1948-1985), "Departemen Pendidikan, Pemuda dan Olahraga" (1985-1999) dan "Departemen Pendidikan Nasional" (1999-2009), disingkat Depdiknas) adalah kementerian dalam Pemerintah Indonesia yang membidangi urusan pendidikan. Kementerian Pendidikan Nasional dipimpin oleh seorang Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) yang sejak tanggal 22 Oktober 2009 dijabat oleh Mohammad Nuh. Mendiknas juga dibantu oleh Wakilnya. Wakil Menteri Pendidikan Nasional yang mendampingi Mohammad Nuh saat ini adalah Fasli Djalal.
Saat ini, Kementerian Pendidikan Nasional terdiri dari:
• Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah
• Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
• Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal (sebelumnya bernama Ditjen Pendidikan Luar Sekolah)
• Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan
• Sekretariat Jenderal
• Inspektorat Jenderal
• Badan Penelitian dan Pengembangan
B. Kondisi Pendidikan di Indonesia
Pada dasarnya, bersekolah atau menuntut ilmu adalah kewajiban semua manusia. Pendek kata, untuk satu kali makan saja, seseorang akan membutuhkan banyak ilmu. Ilmu Matematika untuk mengetahui berapa banyak uang yang akan dibayarkan saat membeli suatu makanan. Ilmu Bahasa untuk berkomunikasi dengan penjual tentang jenis makanan yang akan dibeli, dan ilmu-ilmu lainnya. Menuntut ilmu seharusnya adalah suatu kewajiban. Setiap orang harus tetap semangat dan pantang menyerah dalam menuntut ilmu.
Menuntut ilmu sekarang ini dibagi menjadi suatu jenjang. Mulai dari TK, SD Sederajat, SMP Sederajat, SMA Sederajat, hingga jenjang pendidikan tinggi di Politeknik, Akademi, Sekolah Tinggi atau yang paling populer yaitu di Perguruan Tinggi dengan jenjang D3, S1, S2, hingga S3. Apalagi dewasa ini, muncul Playgroup yang membuat balita kekurangan masa bermainnya. Jadi tidaklah mengherankan jika anda menemui beberapa orang yang memiliki gelar Mahasiswa, tetapi mereka masih senang bermain game playstation, bahkan kecanduan game PS1 layaknya anak kecil. Karena waktu bermain mereka saat kecil dulu justru dipenuhi dengan aktivitas pembelajaran. Masuklah mereka pertama kali ke TK atau Playgroup terlebih dahulu, lalu SD,SMP,SMA, kemudian mencoba kuliah di PTN atau sejenisnya. Setelah itu mereka menikah, lalu mempunyai anak, menjadi orang tua, kemudian anaknya diupayakan untuk mengikuti kembali siklus pendidikan yang dulunya mereka jalani. Hal ini terjadi secara terus menerus layaknya suatu sistem yang kontinu dan sulit diubah. Ada yang bersekolah dengan tujuan agar mendapat pekerjaan yang layak. Anehnya, meskipun seseorang tersebut kaya (seorang milyarder), tetapi anaknya justru disekolahkan setinggi-tingginya hanya untuk sekedar prestige belaka.
Pemerintah mencanangkan program ”Wajib Belajar 9 Tahun”, hanya sampai jenjang SMP. Padahal ijazah SMA saja sekarang ini tidak laku untuk mengajukan lamaran pekerjaan di perusahaan. Akan tetapi, kebijakan ini cukup baik, karena Mendiknas mampu mendanai banyak anak kurang mampu untuk bersekolah. Bahkan, lebih baik lagi, Mendiknas memberi beasiswa BOPDA bagi peserta didik SMA Sederajat yang kurang mampu tetapi pandai. Sangat baik lagi, karena Mendiknas melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) juga memberikan bantuan bagi Mahasiswa kurang mampu yang berhasil masuk ke Perguruan Tinggi Negeri dengan beasiswa BIDIK MISI dan semacamnya. Sehingga pendidikan dapat dirasakan oleh siapa saja, bahkan pendidikan tinggi pun juga dapat dirasakan oleh rakyat kecil.
Dengan banyaknya beasiswa dan berbagai fasilitas yang diberikan, pastilah Mendiknas mengharapkan output yang baik pula. Kurikulum pendidikan ditambah. Hingga semakin banyak saja yang diajarkan. Misalnya saja, pelajaran Matematika Kesebangunan dan Phytagoras yang dulunya diajarkan waktu SMP,sekarang sudah mulai diajarkan di SD kelas 5 atau kelas 6. Apalagi semakin bertambahnya tahun ajaran, akan bertambah pula silabus materi yang diajarkan, juga akan semakin besar pula standar kelulusan. Mendiknas benar-benar menguji peserta didik dengan menambahkan beberapa materi dalam kurikulum terbaru setiap tahunnya. Dengan patokan nilai standar kelulusan yang semakin bertambah, menyebabkan beban peserta didik semakin berat saja.
Hal yang semakin memberatkan beban peserta didik adalah target dari orang tua agar anaknya dapat minimal lulus UN, dan maksimal dengan nilai terbaik setinggi-tingginya. Para orang tua kadang tidak peduli terhadap kemampuan anaknya. Entah anaknya mampu, entah tidak mampu dalam pelajaran, tetapi orang tua tetap memaksakan nilai tinggi pada anaknya, terkadang hal ini justru dilakukan hanya demi sekedar prestige belaka. Beberapa orang tua sekarang ini lebih memikirkan apa nanti kata tetangga sekitar daripada memperhatikan anaknya sendiri.
Menghadapi hal sulit seperti ini, guru sebagai fasilitator pembelajaran, justru memberikan solusi praktis yaitu dengan berbagai macam cara menyontek. Ada yang membentuk tim guru yang bekerjasama dengan mendapat soal UN terlebih dahulu sebelum ujian dimulai, lalu dikerjakan bersama-sama dengan membagi soal mata pelajaran tertentu pada guru tertentu, lalu diberikan kepada salah satu siswa yang sebelumnya telah diberi tanggung jawab untuk menyebarkan ke semua siswa peserta UN. Ada yang membuat kesepakatan bersama dengan mengambil uang kas semua semua siswa peserta UN untuk membeli jawaban dari suatu sumber-sumber tertentu yang dapat dipercaya. Hal ini dilakukan agar semua siswa lulus, tidak ada orang tua yang komplain, dan agar sekolahnya bisa lebih terkenal karena dapat meluluskan banyak siswa dengan beberapa siswa yang nilainya sangat tinggi. Cara yang lebih parah lagi, siswa yang paling pintar disuruh menyebarkan jawabannya. Jika dia tidak mau, maka dia diancam tidak akan dibantu oleh guru dan teman-temannya. Mungkin hal inilah yang menyebabkan kecurangan-kecurangan UN seperti ini akan terus terjadi. Bahkan saya pernah menemui anak yang masih kelas 5 SD, tetapi dia sangat sibuk belajar, pagi hari dia sekolah, siang hari pulang sekolah ada bimbingan belajar wajib di sekolahnya, ba’da maghrib dia les, tetapi sepulang dari les, orang tuanya mengantarkan dia untuk les lagi di LBB lain. Hal ini membuat anak tersebut kekurangan masa bermainnya. Meskipun anak tersebut nilainya bisa tinggi, namun curang rasanya bila anak lain yang tidak sesibuk dirinya juga bisa mendapat nilai sama, atau bahkan lebih tinggi daripada anak tersebut. Apalagi sekarang ini orang tua akan menilai anaknya bodoh atau pandai hanya dari nilai semata. Padahal kita tahu bahwa kecerdasan itu ada bermacam-macam, tidak hanya kecerdasan intelektual saja. Suatu sumber terpercaya telah menyebutkan tentang adanya 8 macam kecerdasan pada manusia.
Melihat kenyataan ini, sejak kecilpun anak sudah diajari untuk curang. Bahkan kabar baru-baru ini, seorang wali murid yang melaporkan bahwa anaknya disuruh untuk menyebarkan jawaban UN di SDN Gadel, justru wali murid tersebut dilaporkan balik telah menyebarkan nama baik sekolah, dan tetangga sekitar malah mengucilkan dirinya, sehingga dia pulang ke desa. Menyikapi hal ini, Mendiknas justru menyatakan tidak ada kecurangan UN dengan alasan bahwa tidak ada jawaban yang sama 100%. Seakan menutupi kejujuran, Mendiknas berkata bahwa nilai dan letak kesalahan bervariasi, sehingga tidak ada contek massal. Padahal kita tahu bahwa anak kecil yang polos, pasti mengatakan sesuatu hal itu sebenar-benarnya. Apalagi setiap anak pasti berbeda pemikiran, ada yang pandai sehingga mengubah jawaban dari gurunya, ada yang bingung sehingga menyamakan isi contekan sepenunya, dan sebagainya. Guru pun juga tidak akan sebodoh itu untuk memberikan jawaban sepenuhnya, entah dari 50 soal terdapat 7-10 soal tidak dijawab, entah dari 40 soal terdapat 5-7 soal tidak dijawab, sehingga jawaban siswa pasti berbeda-beda. Jika kejujuran kecil seperti ini saja tidak bisa dipertahankan di negeri ini, malah dianggap sebagai suatu kesalahan, apalagi kejujuran besar yang menyangkut nama negara. Mungkin hal semacam ini juga berlaku di kalangan pejabat negara. Mungkin korupsi yang terus marak di Indonesia ini terjadi akibat adanya ”pembiaran”, sehingga tidak akan ada koruptor yang jera, yang akhirnya menyebabkan siklus korupsi di Indonesia berjalan dengan mulus.
C. Jika Aku Menjadi Menteri Pendidikan Nasional
Menyikapi hal seperti ini, tentunya ada sesuatu yang harus diubah dalam sistem pendidikan di Indonesia. Terdapat suatu kebijakan yang mungkin kurang tepat sehingga banyak terjadi kecurangan-kecurangan UN di Indonesia. Mendiknas dalam hal ini memang cukup baik, tetapi terdapat suatu hal yang menyebabkan terjadinya suatu kesalahan berupa kecurangan yang terjadi terus menerus.
Jika saya menjadi Mendiknas, saya akan melakukan hal yang sama dengan apa-apa yang dilakukan mendiknas saat ini. Dengan memberikan banyaknya beasiswa bagi rakyat kecil untuk menuntut pendidikan, sehingga pendidikan dapat dirasakan oleh semua kalangan.
Jika saya menjadi Mendiknas, akan ada satu hal yang saya ubah. Saya akan membuat kebijakan dengan meluluskan seluruh peserta UN dengan nilai berarapapun juga, walaupun satu koma atau nol koma sekian sekalipun. Dengan dipastikan lulusnya peserta UN, menyebabkan UN tidak akan menjadi momok. Peserta didik akan belajar karena kesadaran dan kewajiban, bukan paksaan hanya untuk memenuhi standar kelulusan semata. Jika saya menjadi Mendiknas, kecurangan yang terjadi saat berlangsungnya ujian, akan saya selidiki dengan tuntas dan akan saya tindak tegas. Saya akan mengadakan penyuluhan bagi guru-guru agar tidak bertindak curang saat UN. Jika ada yang masih terbukti melakukan kecurangan, maka akan saya cabut status kepegawaiannya, atau paling maksimal, akan saya pecat dari profesinya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa :
Pendidikan adalah suatu kewajiban bukanlah suatu paksaan untuk memenuhi standar kelulusan dari Mendiknas.
Kinerja Mendiknas saat ini telah bagus dengan memberi banyak beasiswa sebagai rakyat kecil. Sehingga pendidikan dapat dinikmati oleh semua kalangan.
Semakin berganti tahun, semakin banyak materi yang diajarkan, semakin bertambah pula standar kelulusan yang ditetapkan oleh mendiknas, sehingga UN rasanya menjadi momok yang menakutkan.
Jika saya menjadi Mendiknas, seperti Mendiknas sebelumnya, saya juga akan memberikan beasiswa bagi rakyat kurang mampu yang mau untuk belajar dan melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi.
Jika saya menjadi Mendiknas, Saya akan membuat kebijakan yang akan meluluskan semua peserta UN walau dengan rata-rata nol koma sekalipun, yang penting disini adalah, saya membutuhkan kejujuran dari peserta didik dan pengajar. Saya juga akan mengadakan penyuluhan bagi guru pengajar untuk tidak mengadakan kecurangan saat UN dan mengajar kejujuran kepada murid-murid. Tetapi saya akan tetap memberikan batas nilai untuk masuk Sekolah sekolah negeri dan Perguruan Tinggi Negeri yang nilainya agak tinggi atau mengambil nilai yang tertinggi. Sehingga nilai standar untuk lolos tes ditentukan setelah tes.